Wednesday, February 27, 2013

ketika itu tak berbalas.


Pernahkah kamu mengayun-ayunkan sebelah tanganmu di udara? Apa rasanya? Kosong, bukan? Hampa, hanya ada semilir angin yang sesekali lewat menghempas tanganmu. Namun, itu juga tak terlalu terasa, atau kadang tak berasa sama sekali.

Ketika kau melihat dirinya yang sedang berdiri tegap, apa yang kau rasakan? Bahagia, bukan? Rasanya menyenangkan, rasanya membahagiakan, seolah-olah kau sedang melihat seorang aktor terkenal di seantero dunia. Padahal, dia hanya seorang biasa.

Ketika dia memanggil namamu, apa yang kau rasakan? Jantungmu berdetak lebih kencang, bukan? Kau bisa mendengar degupan jantungmu yang semakin keras.

Saat dia memintamu untuk mendekat, apa yang kau rasakan? Bulu roma mu berdiri, bukan? Kau berubah menjadi pucat pasi, seolah kau baru saja melihat hantu.

Saat dia menatapmu dari dekat, apa yang kau rasakan? Pipimu memanas, bukan? Wajahmu bersemu. Merah sekali, semerah udang rebus.


Saat kau mulai menyadari kalau kau mencintainya, apa yang kau rasakan? Indah, bukan? Ah, tidak juga. Kau mulai bertanya-tanya, kau mulai mempertanyakan dirimu sendiri. Apakah ini nyata atau tidak?

Saat kau menyadari bahwa dia tak mencintai mu, apa yang kau rasakan? Kosong, bukan? Sama saat kau mengayun-ayunkan sebelah tanganmu di udara. Kau hampir tak merasakkan apa-apa. Tapi semakin kuat kau mengayun-ayunkan tanganmu, semakin kuat aliran perasaanmu kepadanya, semakin sakit dirimu, semakin lemah tanganmu, semakin lemah hatimu.

Tangan dan hatimu menjadi ngilu.

Tangan dan hatimu menjadi lemah.

Kau mulai meringis kesakitan, tetapi kau tetap mengayunkan tanganmu, kau tetap mengalirkan perasaanmu.

Dan kemudian tangan itu patah, dan begitu pula hatimu.

                                                                                                                                                Jakarta, malam hari, di sebelah jendela kamar (14-01-13)

Friday, February 22, 2013

belum punya judul.

Ketika kau melangkah menjauh, aku hanya bisa menatap sisa-sisa kenangan yang kau berikan padaku. Aku memandangi seluruh kenangan yang berserakkan di lantai perasaan ini. Aku menyaksikan kenangan saat pertama kali kita bertemu. Aku menyaksikan kenangan saat kita mulai mengenal satu sama lain. Aku menyaksikan kenangan saat kita berdua mulai terjatuh ke dalam lubang itu. Kita jatuh cinta. Mungkin bukan kita, mungkin hanya aku. Karena aku tak pernah berpikir bahwa sesungguhnya kau (pernah) jatuh cinta kepadaku.

Aku kembali menyaksikan kenangan-kenanggan itu. Semakin aku melihatnya, semakin aku ingin mengujam diriku. Kenangan itu memilukan, menyedihkan. Tapi, betapa bodohnya aku, sudah tau akan sakit begitu tetap saja aku saksikan kenangan demi kenangan. Aku masokis. Mungkin aku masokis. Atau mungkin aku gila.

Aku mengalihkan pandanganku dari kenangan-kenangan gila itu. Aku melihatmu berdiri disana. Terdiam dan menatap ke arah ku. Ada hasrat untuk merengkuhmu kembali. Tapi, aku tak cukup nyali. Tetiba kau berlari mendekat, semakin dekat hingga kau berhenti tepat di hadapanku. Aku terdiam, kau membisikkan mantra itu. Mantra yang membuatku percaya kepadamu. Lagi.
Ah, aku memang bodoh!
Tapi cinta bisa merubah si pintar menjadi si bodoh, mengubah si perasa menjadi mati rasa, dan melemahkan si kuat.