Pernahkah kamu mengayun-ayunkan sebelah tanganmu di udara? Apa
rasanya? Kosong, bukan? Hampa, hanya ada semilir angin yang sesekali lewat
menghempas tanganmu. Namun, itu juga tak terlalu terasa, atau kadang tak berasa
sama sekali.
Ketika kau melihat dirinya yang sedang berdiri tegap, apa
yang kau rasakan? Bahagia, bukan? Rasanya menyenangkan, rasanya membahagiakan,
seolah-olah kau sedang melihat seorang aktor terkenal di seantero dunia. Padahal,
dia hanya seorang biasa.
Ketika dia memanggil namamu, apa yang kau rasakan? Jantungmu
berdetak lebih kencang, bukan? Kau bisa mendengar degupan jantungmu yang
semakin keras.
Saat dia memintamu untuk mendekat, apa yang kau rasakan? Bulu
roma mu berdiri, bukan? Kau berubah menjadi pucat pasi, seolah kau baru saja
melihat hantu.
Saat dia menatapmu dari dekat, apa yang kau rasakan? Pipimu memanas,
bukan? Wajahmu bersemu. Merah sekali, semerah udang rebus.
Saat kau mulai menyadari kalau kau mencintainya, apa yang
kau rasakan? Indah, bukan? Ah, tidak juga. Kau mulai bertanya-tanya, kau mulai
mempertanyakan dirimu sendiri. Apakah ini nyata atau tidak?
Saat kau menyadari bahwa dia tak mencintai mu, apa yang kau
rasakan? Kosong, bukan? Sama saat kau mengayun-ayunkan sebelah tanganmu di
udara. Kau hampir tak merasakkan apa-apa. Tapi semakin kuat kau
mengayun-ayunkan tanganmu, semakin kuat aliran perasaanmu kepadanya, semakin
sakit dirimu, semakin lemah tanganmu, semakin lemah hatimu.
Tangan dan hatimu menjadi ngilu.
Tangan dan hatimu menjadi lemah.
Kau mulai meringis kesakitan, tetapi kau tetap mengayunkan
tanganmu, kau tetap mengalirkan perasaanmu.
Dan kemudian tangan itu patah, dan begitu pula hatimu.
Jakarta,
malam hari, di sebelah jendela kamar (14-01-13)